Jumat, 22 Oktober 2010

Perempuan Itu Bernama Azisah..!!


Perempuan itu bernama Azisah, ya.. sebuah nama yang cantik namun tak secantik nasibnya.  Azisah tipe perempuan kuat kupikir.., bukan hanya kuat fisik tapi juga jiwanya kuat menanggung derita hidup.  Azisah berusia awal tiga puluh sebaya adik lelakiku.  Dia hanyalah wanita sederhana yang pandai berdamai dengan nasib, kukatakan demikian karena sejak mengenalnya hingga kini, aku tidak pernah melihatnya hidup berkecukupan.  Ia tinggal sekitar lima rumah dibelang rumahku.


Bapak Azisah hanyalah seorang pensiunan PNS golongan rendah, tapi walau demikian kedelapan anaknya bisa tamat SMA kecuali Azisah yang harus putus sekolah dan menikah saat duduk di kelas 2 SMA karena keburu hamil.  Disinilah kehidupan Azisah sebagai perempuan dewasa dimulai, lepas dari tanggung jawab orang tua, bukan kebahagiaan yang didapati tapi malah penderitaan karena harus bertahan hidup dibawah tekanan mertua perempuannya.  Namun hal itu tidak membuatnya menyerah.  Dia terus bertahan dan bertahan, hingga anak keduanya lahir penderitaan itu semakin dirasakannya.  Suami yang selama ini dicintainya tak mengakui anak yang baru dilahirkan, Azisah berusaha menyakinkan suaminya jika anak perempuan itu adalah darah daging mereka berdua.  Aku tidak habis pikir, mengapa suaminya sampai hati menuduh istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain, bukankah Azisah nyaris tidak pernah keluar rumah?, mengunjungi orang tuanyapun jarang.  Aku kira suminya adalah tipe pria yang suka bersenang-senang dan sedang membuat alasan agar Azisah tidak betah dan segera minta cerai disebabkan punyan wanita lain.  Dan memang benar, wanita tegar itu akhirnya menyerah dan memilih kembali pada orang tuanya.

Setelah kembali pada orang tuanya bukan berarti penderitaan berakhir, mertua Azisah tak membiarkan kedua cucunya ikut dengannya.  Kepedihan hati seorang ibu yang dipisahkan dari anak-anaknya membuatku semakin bersimpati padanya apalagi dengan alasan dia tidak bisa menghidupi anak-anaknya sehingga hak asuh dilimpahkan pada mantan suaminya.  Alasan itu dapat diterima Azisah karena untuk menghidupi diri sendiri saja dia masih mengharap bantuan orang  tua yang juga hidup pas-pasan.

Keluarga Azisah adalah keluarga yang menurutku “aneh”.  Walaupun tiga kakaknya sudah berkeluarga dan masih hidup serumah dengan orang tua namun mereka tidak saling membantu layaknya kakak kepada adiknya.  Mungkinkah kemiskinan bisa membuat orang mati rasa walaupun itu adik kandung sendiri? Dan mungkin karena alasan itupula Azisah terpaksa menerima ajakan seseorang untuk mempekerjakannya sebagai pelayan bar.  Keputusan itu membuat kami para tetangga sempat mencibir dan merendahkannya, sebab itu beberapa bulan kemudian ia memutuskan berhenti sebagai pekerja bar dan menerima pinangan seorang sopir taksi yang diharapkan dapat menjadi sandaran hidup.

Namun sekali lagi nasib baik tak berpihak padanya, berharap sang sopir taksi dapat menjadi sandaran hidup tak sepenuhnya menjadi kenyataan. Sebagai istri dia harus rela hanya diberi 20 ribu rupiah perhari oleh suami barunya. Sungguh jumlah itu jauh dari cukup, namun Azisah sadar sebagai sopir taksi penghasilan suaminya tidaklah seberapa sementara dia juga harus berbagi dengan perempuan lain karena statusnya hanyalah istri kedua, sungguh memilukan.

Hal ini membuatnya mengambil keputusan untuk bekerja kembali, diajaklah ia membantu mencuci dan menyetrika pakaian di rumahku oleh mama.  Waktu itu kebetulan orang yang biasa membantu di rumah kami baru melahirkan.  Mama bilang sebaiknya dia bekerja di rumahku saja daripada harus kembali kepekerjaannya yang dulu.  Sejak ia sering kerumahku aku jadi lebih mengenalnya dan memaklumi  mengapa dulu ia harus bekerja di bar. Yah.. tekanan ekonomi, pendidikan formal dan pendidikan agama yang minim kurasa yang menjadi penyebabnya.

Beberapa waktu kemudian Azisah hamil lagi, kali ini ia merasa tidak dapat lagi membantu kami.  Dicarinyalah seseorang yang bisa menggantikannya.  Setelah merasa cukup kuat ia mulai bekerja kembali dan kali ini di rumah tetanggaku yang keturunan arab.  Walaupun sudah bekerja di sebelah rumahku, tapi jika mama memanggilnya kembali ia menyanggupi meski itu cuma satu dua hari jika orang yang dirumah kami berhalangan datang. 

Selama ini mama adalah orang yang paling perhatian terhadapnya, jika ada makanan atau barang yang lebih pasti diberikannya untuk Azisah.  Aku pernah bertanya pada mama mengapa hanya Azisah yang sering diberi sesuatu, berbagi jugalah dengan orang lain. Tapi mama berkeras kalau yang lain juga sering diberi namun mama lebih memperhatikan Azisah karena dia lebih menderita dari yang lain.

Setahun lalu, Azisah hamil lagi (aku heran..dah tau kalo suaminya ga bisa menopang hidup dia dan anaknya tapi kok hamil lagi sih???) kuperhatikan tubuh kecilnya semakin kurus, orang yang melihatnya beberapa tahun lalu akan heran melihat penurunan berat badannya yang drastis.  Aku pikir mungkin ia “keseringan”  melahirkan dan sedikit kurang gizi sehingga nampak semakin kurus.  Kesibukan Azisah akhir-akhir ini adalah selain sebagai buruh cuci ia juga harus menjaga anak-anaknya yang masih kecil, melayani suami dan juga menjaga ibunya yang sudah semakin tua (ayahnya meninggal setahun lalu) sementara dua saudara perempuannya yang lain sibuk dengan keluarga mereka masing-masing sehingga praktis hanya ia yang bisa menjaga ibunya.

Menurut ibunya senin yang lalu Azisah jatuh sakit namun ia memaksakan diri untuk tetap bekerja,  ia masih sempat menemani anaknya ke toserba di depan rumahku.  Itulah terakhir kali mama melihatnya, namun mama tak tahu jika Azisah sedang sakit.  Memang penampilan Azisah saat sakit dan sehat hampir tak ada bedanya.

Pagi ini perempuan yang bernama Azisah itu telah mengakhiri penderitaannya, ia telah tiada (Innalillahi wa Innailaihi Rojiuun), ia pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kedua anaknya yang masih belum mengerti mengapa ibunya hanya tidur dan belum bangun untuk menyuapinya seperti biasa.  Kami semua berduka atas kepergiannya yang terasa mendadak. Ternyata dalam keterbatasannya ia begitu baik pada sesama sehingga dihari kematiannya begitu banyak orang yang datang bersimpati padanya.

Hari ini perempuan itu membuatku berpikir apakah hidup tidak adil padanya, apakah ia hadir di dunia ini hanya untuk menderita sepanjang hidupnya?, atau penderitaan itu tidak pernah ia rasakan dan hanya versiku saja?. Yah.. ternyata Kebahagiaan atau kesenangan itu tidak diukur dari apa yang melekat didirimu tapi caramu memandang dan merasakan hidup ini.  Boleh jadi selama hidupnya Azisah tidak terbebani dengan  yang kusebut penderitaan menurut versiku, boleh jadi ia sebenarnya bahagia bisa merawat anak-anak, suami dan ibunya walaupun ia kekurangan secara materi.

Jadi kusimpulkan bahwa merasa miskin, merasa kaya, merasa pintar, itu hanya “rasa” sehingga senang atau bahagia dalam hidup ini menjadi sangat “relatif”.  Jika aku sedang dirundung banyak masalah dan tak mampu menjalani hidup dengan ceria (aku sering mengalaminya) bisakah dikatakan itulah kemiskinan yang sejati.  Seorang bijak berkata rasa serba kurang adalah akibat ketidak mampuan kita untuk mensyukuri nikmat Allah, betapa kita masih menjadi orang bodoh memandang hidup ini.  Ketika memandang hidup dari kaya atau miskin secara lahiriah padahal kaya atau miskin hanya sekedar perasaan saja.


Kata-Kata Bijak:

“Hanya ada satu tempat di dunia ini di mana manusia terbebas dari segala ujian hidup, yakni kuburan.  Berarti, tanda bahwa manusia tersebut masih hidup adalah ketika dia mengalami ujian, kegagalan, dan penderitaan.  Lebih baik kita tahu mengapa kita gagal daripada tidak tahu mengapa kita berhasil”.
(Parlindungan Marpaung)

“Kebahagiaan datang jika kita berhenti mengeluh tentang kesulitan-kesulitan yang kita miliki, dan mengucapkan terima kasih atas kesulitan-kesulitan yang tidak menimpa kita”
(NN)

“Hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama”
(Andrea Hirata)

 “Ukuran sukses sejati terletak pada kemampuan anda merasakan pikiran bahagia”
(Erbe Sentanu)

1 komentar:

Silahkan beri komentar dan tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam